Posted on 4 JULI 2012
Pada
umumnya, pelaksanaan tugas selalu mengandung permasalahan dan tantangan.
Masalah dan tantangan ini seringkali menimbulkan stres yang bisa mengganggu
pencapaian tujuan. Stres adalah suatu kondisi tegangan (tension)
baik secara faal maupun psikologis yang diakibatkan oleh tuntutan dari
lingkungan yang dipersepsi sebagai ancaman. Stres merupakan bagian dari
kondisi manusiawi. Dalam batas tertentu, stres membantu kita agar tetap
termotivasi (eustres). Tetapi kadang-kadang kita terlalu banyak
mendapatkan stres sehingga menurunkan kualitas kinerja kita (distres).
Oleh karena itu, kita perlu memiliki kemampuan mengelola stres.
Untuk
bisa mengelola stres, maka langkah yang harus kita lakukan adalah:
mengenali gejala-gejala stres, memahami faktor-faktor penyebab stres, dan
melatih diri melakukan mekanisme penanganannya (coping mechanism).
A.
Gejala-gejala Stres
Stres
mempengaruhi seluruh diri kita. Kondisi stres dapat diamati dari
gejala-gejalanya, baik gejala emosional/kognitif maupun gejala fisik. Jika kita
dapat menandai gejala-gejalanya, maka kita akan dapat mengelolanya.
Seseorang
yang stres tidak berarti harus memiliki/menampakkan seluruh gejala ini, bahkan
satu gejala pun sudah bisa kita curigai sebagai pertanda bahwa seseorang
mengalami stres. Namun kita juga perlu menyadari bahwa gejala-gejala ini bisa
juga merupakan indikator dari masalah lain, misalnya karena memang benar ada
gangguan kesehatan secara fisik.
Tabel
berikut menggambarkan gejala-gejala stres:
Gejala
Emosional/Kognitif
|
Gejala
Fisik
|
|
|
B.
Faktor-Faktor Penyebab Stres
Secara
umum, faktor penyebab stres meliputi:
1.
Ancaman.
Persepsi
tentang adanya ancaman membuat seseorang merasa stres, baik ancaman fisik,
sosial, finansial, maupun ancaman lainnya. Keadaan akan menjadi buruk bila
orang yang mempersepsikan tentang adanya ancaman ini merasa bahwa dirinya tidak
dapat melakukan tindakan apa pun yang akan bisa mengurangi ancaman tersebut.
2.
Ketakutan
Ancaman
bisa menimbulkan ketakutan. Ketakutan membuat orang membayangkan akan
terjadinya akibat yang tidak menyenangkan, dan hal ini membuat orang menjadi
stres.
3.
Ketidakpastian
Saat
kita merasa tidak yakin tentang sesuatu, maka kita akan sulit membuat prediksi.
Akibatnya kita merasa tidak akan dapat mengendalikan situasi. Perasaan tidak
mampu mengendalikan situasi akan menimbulkan ketakutan. Rasa takut menyebabkan
kita merasa stres.
4.
Disonansi kognitif
Bila
ada kesenjangan antara apa yang kita lakukan dengan apa yang kita pikirkan,
maka dikatakan bahwa kita mengalami disonansi kognitif, dan hal ini akan
dirasakan sebagai stres. Sebagai contoh, bila kita merasa bahwa kita adalah
orang yang baik, namun ternyata menyakiti hati orang lain, maka kita akan
mengalami disonansi dan merasa stres. Disonansi kognitif juga terjadi bila kita
tidak dapat menjaga komitmen. Kita yakin bahwa diri kita jujur dan tepat janji,
namun adakalanya situasi/lingkungan tidak mendukung kita untuk jujur atau tepat
janji. Hal ini akan membuat kita merasa stres karena kita terancam dengan
sebutan tidak jujur atau tidak mampu menepati janji.
Faktor
lain yang bisa menimbulkan stres adalah kehidupan sehari-hari, seperti:
- Kematian, baik kematian pasangan, keluarga, maupun teman
- Kesehatan: kecelakaan, sakit, kehamilan
- Kejahatan: penganiayaan seksual, perampokan, pencurian, pencopetan.
- Penganiayaan diri: penyalahgunaan obat, alkoholisme, melukai diri sendiri
- Perubahan keluarga: perpisahan, perceraian, kelahiran bayi, perkawinan.
- Masalah seksual
- Pertentangan pendapat: dengan pasangan, keluarga, teman, rekan kerja, pimpinan
- Perubahan fisik: kurang tidur, jadual kerja baru.
- Tempat baru: berlibur, pindah rumah
- Keuangan: kekurangan uang, memiliki uang, menginvestasikan uang.
- Perubahan lingkungan: di sekolah, di rumah, di tempat kerja, di kota, masuk penjara.
- Peningkatan tanggung jawab: adanya tanggungan baru, pekerjaan baru.
Di
tempat kerja, selain faktor penyebab yang bersifat umum di atas, ada 6 (enam)
kelompok faktor utama penyebab stres, yaitu:
- Tuntutan tugas
- Pengendalian terhadap pegawai, yang berhubungan dengan bagaimana para pegawai melaksanakan pekerjaannya
- Dukungan yang didapatkan dari rekan kerja dan pimpinan
- Hubungan dengan rekan kerja
- Pemahaman pegawai tentang peran dan tanggung jawab
- Seberapa jauh instansi tempat bekerja berunding dengan pegawai baru.
C.
Reaksi Adaptasi Terhadap Stres
Seberapa
banyak, lama, dan berat keberadaan gejala-gejala stres menggambarkan pada tahap
mana reaksi seseorang terhadap stres yang dialaminya. Menurut Hans Selye
(1974), ada 3 tahap reaksi adaptasi seseorang terhadap stres, yaitu:
- Tahap 1: Alarm Reaction. Gejala muncul sebagai respons permulaan terhadap adanya stres, misalnya karena harus menyusun Persiapan Mengajar Harian, seorang guru baru mendadak sakit perut/mulas-mulas.
- Tahap 2: Resistance. Seseorang yang sudah terbiasa menghadapi stres pada akhirnya akan lebih tahan (resisten) terhadap stres. Pada tahap ini, seseorang menemukan adaptasi yang baik terhadap situasi yang menimbulkan stres, sehingga alarm reaction menurun. Namun adakalanya pada tahap ini timbul diseases of adaptation, yaitu suatu keadaan dimana seolah-olah seseorang sudah beradaptasi dengan situasi yang menimbulkan stres, padahal sebenarnya adaptasinya tidak tepat sehingga timbul penyakit-penyakit seperti darah tinggi, maag, eksem, dan sebagainya.
- Tahap 3: Exhaustion. Tahap ini adalah suatu keadaan dimana seseorang benar-benar sakit, yang terjadi bila stres terus menerus dialami dan orang tersebut tidak dapat mengatasinya. Pada tahap ini gejala sudah lebih berat, misalnya seseorang menjadi benar-benar putus asa, mengalami halusinasi, delusi, dan bahkan kematian.
D.
Mengelola Stres
Manusia
adalah makhluk kompleks yang berada dalam kehidupan yang kompleks pula.
Kompleksitas kehidupan berpotensi menimbulkan stres, dan menuntut
seseorang untuk mengatasinya. Cara seseorang mengatasi stres dapat
dikelompokkan menjadi dua kategori.
Pertama, cara ini merupakan cara yang spontan dan tidak disadari,
dimana pengelolaan stres berpusat pada emosi yang dirasakan. Dalam istilah
psikologi diklasifikasikan sebagai defense mechanism. Beberapa perilaku
yang tergolong kedalam kelompok ini adalah:
- Acting out, yaitu menampilkan tindakan yang justru tidak mengatasi masalah. Perilaku ini lebih sering terjadi pada orang yang kurang mampu mengendalikan/menguasai diri, misalnya merusak barang-barang di sekitarnya.
- Denial, yaitu menolak mengakui keadaan yang sebenarnya. Hal ini bisa bermakna positif, bisa pula bermakna negatif. Sebagai contoh, seseorang guru menyadari bahwa dirinya memiliki kelemahan dalam berbahasa Inggris, namun ia terus berupaya untuk mempelajarinya; bisa bermakna positif bila dengan usahanya tersebut terjadi peningkatan kemampuan; bermakna negatif bila kemampuannya tidak meningkat karena memang potensinya sangat terbatas, namun ia tetap berusaha sampai mengabaikan pengembangan potensi lain yang ada dalam dirinya.
- Displacement, yaitu memindahkan/melampiaskan perasaan/emosi tertentu pada pihak/objek lain yang benar-benar tidak ada hubungannya namun dianggap lebih aman. Contohnya: Seorang guru merasa malu karena ditegur oleh Kepala Sekolah di depan guru-guru lain, maka ia melampiaskan perasaan kesalnya dengan cara memarahi murid-murid di kelas.
- Rasionalisasi, yaitu membuat alasan-alasan logis atas perilaku buruk. Contohnya: Seorang Kepala Sekolah yang tidak menegur guru yang membolos selama 3 hari mengatakan bahwa ia tidak menegur guru tersebut karena pada saat itu ia sedang mengikuti pelatihan untuk kepala sekolah di ibukota provinsi.
Kedua, cara yang disadari, yang disebut sebagai direct coping,
yaitu seseorang secara sadar melakukan upaya untuk mengatasi stres. Jadi
pengelolaan stres dipusatkan pada masalah yang menimbulkan stres. Ada dua
strategi yang bisa dilakukan untuk mengatasi stres, yaitu:
- Meningkatkan toleransi terhadap stres, dengan cara meningkatkan keterampilan/kemampuan diri sendiri, baik secara fisik maupun psikis, misalnya, Secara psikis: menyadarkan diri sendiri bahwa stres memang selalu ada dalam setiap aspek kehidupan dan dialami oleh setiap orang, walaupun dalam bentuk dan intensitas yang berbeda. Secara fisik: mengkonsumsi makanan dan minuman yang cukup gizi, menonton acara-acara hiburan di televisi, berolahraga secara teratur, melakukan tai chi, yoga, relaksasi otot, dan sebagainya.
- Mengenal dan mengubah sumber stres, yang dapat dilakukan dengan tiga macam pendekatan, yaitu: (a) bersikap asertif, yaitu berusaha mengetahui, menganalisis, dan mengubah sumber stres. Misalnya: bila ditegur pimpinan, maka respon yang ditampilkan bukan marah, melainkan menganalisis mengapa sampai ditegur; (b) menarik diri/menghindar dari sumber stres. Tindakan ini biasanya dilakukan bila sumber stres tidak dapat diatasi dengan baik. Namun cara ini sebaiknya tidak dipilih karena akan menghambat pengembangan diri. Kalaupun dipilih, lebih bersifat sementara, sebagai masa penangguhan sebelum mengambil keputusan pemecahan masalah; dan (c) kompromi, yang bisa dilakukan dengan konformitas (mengikuti tuntutan sumber stres, pasrah) atau negosiasi (sampai batas tertentu menurunkan intensitas sumber stres dan meningkatkan toleransi terhadap stres)
=====================
Diambil
dari Materi Pembinaan Profesi Pengawas Sekolah. Direktorat Tenaga
Kependidikan. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar